“Namun pada prakteknya aplikasi dari Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU 42/1999 ini menemukan kelemahan khususnya dalam memberikan pemaknaan detail pelaksanaannya yang justru dapat melanggar hak Pemberi Fidusia (debitur),” pungkasnya.
Ditambahkannya, dengan terbitnya putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019, maka dengan mempersamakan “sertifikat fidusia” dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” maka prosedur pelaksanaan eksekusi objek fidusia harus dipersamakan atau paling tidak serupa dengan prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu terhadap objek fidusia yang akan dieksekusi.
“Pasca putusan MK ini, kedepannya jika perusahaan finance (Kreditur) ingin mengeksekusi objek fidusia yang dipegang oleh Debitur yang keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusianya, terlebih dahulu Kreditur harus mensomasi Debitur tersebut, kemudian disusul dengan mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri layaknya putusan Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 196 HIR,” tutupnya. (red)